Minggu, 05 Juni 2016

Sejarah Samalanga

Bate Iliek Samalanga Pertahanan Pejuang Aceh, Melawan Belanda

Teungku Cut Sa’id yang ato prang, ato rakan kameuteuntee
Dalam kuta gle yang that meuceuhu, Yang to bak u dum meuribee
Dalam kuta gle yang that meusigak, Ateuh seulambak le that guree
Kafe dum jiplueng keudeh u laot/ Geulet di likot meuree-ree…
Itu sepenggal syair Aceh tentang kisah Kuta Gle. Bukit itu bekas benten pertahanan pejuang Aceh, dan selama 30 tahun mampu bertahan melawan Belanda. Benteng itu adalah bukit yang terletak bagian hulu sungai Batee Iliek Samalanga, perbatasan Pidie Jaya-Bireuen. Cerita tentang seorang pahlawan pimpinan perang Kuta Gle Tgk. Cut Sa’id. Juga digambarkan bagaimana serdadu Belanda kalah telak menghadapi ketangguhan pejuang Aceh di Samalanga.

Samalanga ketika itu termasuk wilayah otonom yang diberi kuasa penuh oleh Sulthan Aceh kepada raja Teuku Chik Bugis, tapi dalam menjalankan pemerentahan Teuku Chik Bugis mempercayakan pada seorang tokoh wanita bernama Pocut Meuligoe. Mendengar nama kedua tokoh ini saja, Belanda keder karena keberanian mereka. Belanda sendiri ingin menguasai Samalanga karena wilayah ini sangat strategis dan maju dalam bidang perdagangan.
Ketika Van Der Heijden diangkat Pemerintah Hindia Belanda menjadi Gubernur/Panglima Perang untuk Aceh, sasaran pertamanya adalah menaklukkan Samalanga. Tahun 1876 Van Heijden menyerang Samalanga dengan mengerahkan kekuatan tiga Batalion tentara. Tiap Batalion terdiri tiga Kompi yang masing-masing kompi berjumlah 150 pasukan. Namun sekian kali mereka menyerang, tak berhasil menguasai Samalanga. Serdadu Belanda mati, termasuk seorang Letnan bernama Aj. Richello yang dipancung kepalanya oleh seorang ulama besar Haji Ahmad. Namun ulama ini juga syahid dalam agresi pertama Belanda ke Samalanga.
Pejuang Samalanga tak dapat dikalahkan, maka tahun 1877 Belanda kembali menyusun kekuatan menyerbu dengan melibatkan tiga Batalion tentara, pasukan marenir dan pasukan meriam ditambah 900 orang hukuman yang diikutkan dalam penyerangan. Setelah sebulan pertempuran, Belanda hanya bisa menguasai Blang Temulir dekat kota Samalanga. Ratusan serdadu colonial mati, dan Van Der Heijden sendiri luka berat, bahkan mata kirinya mengalami kebutaan akibat terkena peluru pasukan Aceh. Ini kemudian si Belanda Van Der Haijden disebut orang Aceh dengan nama Jendral buta siblsah.
Raja Samalanga Teuku Chik Bugis dan Pocut Meuligoe masih berkuasa penuh, meskipun Belanda sudah menguasai. Belanda tidak berani mendekati bentenguta Gle Batee Iliek. Seperti ditulis Paul Van ‘T Veer dalam bukunya De Atjeh Oorloq (Perang Aceh: 1985) mencatat, Benteng Kuta Gle Batee Iliek adaah pusat perlawanan Aceh yang sangat tangguh bagi Belanda. Dan Batee Iliek sendiri adalah sebuah “dusun kramat” dan pemukiman para ulama yang sangat fanatik dalam menentang perluasan kekuasaan Belanda.
Satu ketika setelah tiga tahun Samalanga sepi dari peperangan, taba-tiba tanggal 30 Juni 1880, Letna Van Woortman dengan 65 orang pasukannya mencoba menyusup ke Bneteng Kuta Gle Batee Iliek. Namun sampai di Cot Meureak (kira-kita sekitar 2 Km ke arah Utara Betee Iliek) ke 65 pasukan Belanda itu di hadang oleh gerilia pasukan Aceh.
Dalam insiden itu banyak serdadu Belanda mati dan terluka parah. Peristiwa ini segera disampaikan ke Banda Aceh sehingga. Gubernur Van Der Heijden berang karena serdadunya kalah. Maka tanggl 13 Juli 1880, Van Der Heijden kembali mengirimkan ekspedisinya secara besar-besaran ke Samalanga untuk menyerang Banteng Kuta Gle Betee Iliek.
Ekpedisi ini Belanda mengerahkan satu kompi Belanda, 1 kompi Inlander dari Batalion 14 dan 1 kompi Ambon dari Batalion 3, serta 1 kompi garnizun dari Batalion campuran, juga dilengkapi 32 perwira dengan 1200 bawahannya diberangkatkan ke Samalanga. Dalam ekspedisi ini juga turut serta Panglima Tibang, bekas pembesar Sultan yang menyeleweng dengan Teuku Nyak Lehman sebagai juru bahasa dan penunjuk jalan bagi Belanda.
Beberapa kali Belanda melakukan serbuan menaklukkan Kuta Gle Batee Iliek tidak berhasil. Belanda terpaksa memundurkan pasukannya ke Cot Meurak. Di sini sambil mereka istirahat dan menyusun strategi penyerangan kedua ke Kuta Gle, Belanda juga harus menguburkan mayat-mayat serdadu mereka. Tepatnya tanggal 17 Juli 1880, Belanda kembali menyerang Kuta Gle. Dalam serbuan kedua ini rupanya Teuku Chik Bugis (raja Samalanga) minta disertakan bersama dalam pasukan Belanda, dengan tujuan untuk menyesatkan arah pasukan Belanda hingga terjebak dengan pasukan Aceh dalam jumlah yang sangat besar.
Strategi Teuku Chik Bugis lagi-lagi mebuat serangan Belanda ke Kuta Gle Batee Iliek menjadi konyol. Belanda harus buru-buru mundur dan banyak sekali tentaranya yang tewas akibat dikibuli Teuku Chik Bugis. Hari itu juga Chik Bugis ditangkap olen Belanda dan dibawa ke Banda Aceh. Namun begitu, benteng Kuta Gle Batee Iliek tetap berdiri kokoh dengan kekuatan pasukan Aceh yang sangat ditakuti Belanda.
Benteng Kuta Gle Batee Iliek, tak pernah direbut. Itu sebabnya Paul Van ‘T Veer mencatat dalam bukunya “Perang Aceh” bahwa Batee Iliek adalah sebuah kampung kramat yang sangat sulit dihadapi oleh Belanda. Bidikan tembakan-tembakan marsose, ditangkis hebat para ahli Alquran (yang dimaksudkan Van ‘T Veer para ahli Al-Quran adalah para ulama pejuang Aceh) yang sangat lancar membuat serangan perang terhadap Belanda-selancar mereka membaca ayat-ayat Alquran, tulis Van ‘T Veer.
Setelah 30 tahun lebih Benteng Kuta Gle Batee Iliek bertahan dari serangan-serangan besar Belanda, pada tahun 1901 Jenderal Van Heutsz kembali memimpin ekspedisi barunya ke Batee Iliek. Sehari sebelum penyerangan Van Heutsz ke Batee Iliek ini, Van Heutsz lebih dulu merayakan Ultah ke 50 (tanggal 3 Februari 1901).
Untuk membakar semangat perang bagi serdadu Belanda, Van Heutsz, seorang tokoh legendaries perang Belanda Izaak Thenu sengaja mengubah sebuah syair khusus untuk perang Samalanga. Bunyinya: mari sobat, mari saudara Pergi perang di Samalanga, Mari kumpul bersuara Lalu menyanyi bersama-sama.
Namun ekspedisi ini berhasil dilumpuhkan, hingga Van Heutsz baru berhasil menaklukkan Kuta Gle Batee Iliek pada tahun 1904, setelah tiga tahun melakukan peperangan melawan pejuang Aceh di wilayah Batee Iliek. Bahkan menurut sebagian cerita sejarah yang difahami penduduk Samalanga, Van Heutsz sendiri tewas di Batee Iliek, yang kuburannya sekarang terdapat di atas bukit Betee Iliek tak jauh dari Benteng Kuta Gle.

Pocut Meuligo Pahlawan Wanita Aceh

Paling tidak sejak lima ratus tahun lalu, menjadi pemimpin bukan hal baru bagi perempuan Aceh. Pada saat Belanda hendak memasuki Samalanga, seorang pemimpin wanita pewaris kerajaan Samalanga bernama Pocut Meuligo yang masih remaja belia telah berhasil mempertahankan wilayahnya. Ia bertindak tegas kepada setiap pria yang mangkir dan kewajiban perang.
Pocut Meuligo termasuk dalam deretan wanita pejuang seperti Cut Nyak Dien, Cut Nyak Meutiah, dan Tengku Fakinah. Wanita yang juga dipanggil dengan Pocut Maligai ini dengan gagah berani telah mempertahankan Samalanga dan serangan Belanda selama beberapa tahun bahkan seorang jenderal Belanda harus kehilangan satu matanya ketika berusaha merebut Samalanga. Adalah Jenderal van der Heijden yang menjadi korban kegagahan pasukan Pocut Meuligo. Mata kirinya tertembak pejuang Samalanga yang dipimpin seorang remaja Puteri Pocut Meuligo.
Keberanian Pocut Meuligo ditulis oleh seorang kapten Belanda yang bernama Schumacher bahwa Pocut Meuligo sangat benci Belanda sampai-sampai ia memerintahkan semua rakyatnya berperang sekalipun meninggalkan sawah dan ladang. Bila mangkir mereka dihukum berat. Pengaruh perempuan muda ini tidak hanya di Samalanga, ia sering mengirim bantuan dana, keperluan logistik dan senjata ke Aceh Besar membantu pasukan Aceh. Samalanga bisa memberikan kontribusi finansial yang besar bagi perjuangan Aceh karena perdagangan ekspor Samalanga berkembang baik.
Schumacher melanjutkan bahwa pada tahun 1876 Belanda berusaha keras agar Samalanga mengakui pemerintahan Belanda, tetapi dijawab Samalanga dengan menembaki kapal-kapal Belanda bahkan bila perlu merompaknya.
Pada tahun yang sama, Gubernur Belanda Kolonel Karel van der Heijden merancang serangan ke Samalanga dengan menyiapkan tiga batalion dan semua kapal perang Belanda seperti Matelan Kuis, Amboina, Citade van Antwerpen, banda, Borneo, Sambas, Palembang, Watergeus, Semarang dan Sumatera. Pasukan darat dipimpin van der Hegge-Spies.
Ketika pasukan Belanda mendarat, pasuka Aceh telah siap menanti kedatangan mereka di Kiran dan Kuala Tambora. Di sebuah hutan yang telah dipasangi ranjau, satu batalion pasukan Belanda dibantai dengan mudah hanya oleh 40 pejuang Aceh.
Tak lama kemudian bala bantuan Belanda datang, dan pasukan Aceh mundur sambil mengumpulkan tenaga ke Pengit Tunong. Di kawasan ini, perang sengit kemudian terjadi, pasukan Belanda amat tertekan dan banyak yang lari lintang-pukang sambil membuang senjata begitu saja. Kejadian ini tidak lepas dan peran seorang ulama setempat yang bernama Haji Ahmad. Diceritakan bahwa salah seorang pemimpin pejuang Aceh, Haji Ahmad, yang berbadan tinggi besar dan tegap melompat dan menyerang Letenan Ajudan Richello dan memancung kepalanya.
Haji Ahmad ditahan Belanda sementara Pocut Meuligo berusaha membebaskannya dengan cara berunding dengan Belanda namun ulama Aceh itu tidak bisa diselamatkan dan menjadi salah satu syahid dalam serangan pertama Belanda ke Samalanga itu.
Berhasil mempertahankan Samalanga dan serangan Belanda pertama, pasukan Pocut Meuligo kembali memperkuat Benteng Batee Ilie yang terletak di sebuah bukit tak jauh dan Samalanga.
Dalam serangan berikutnya, Kolonel van der Heijden menyusun serangan untuk menaklukkan benteng Samalanga yang telah dipasang ranjau, dan kawat dan berbagai perangkap lainnya. Tiga batalion pasukan darat dan marinir telah disiapkan dibawah kendali Kapten Kauffman. Pasukan ini dibekali dengan pelontar meriam dan 900 buah meriam. Penyerangan Belanda ke Samalanga kali ini harus dibayar mahal karena Kolonel van der Heijden tertembak mata sebelah kirinya sehingga diberi gelar Jenderal Mata Satu oleh orang Aceh.
Selain itu, beberapa pimpinan pasukan Belanda seperti mayor Dompselar dan Letnan Kolonel Meijar dan ratusan prajurit Belanda terluka parah. Bagi Belanda, penyerangan mereka ke wilayah yang dipimpin Pocut Meuligo ini merupakan penyerangan yang menyeramkan dalam ingatan prajurit Belanda.
Belanda beberapa kali menyerang Samalanga mulai 1 Agustus 1877 dan berakhir pada tanggal 17 September di meja perundingan ketika kakak Pocut Meuligo yang bernama Teuku Cik Bugis tiba dan misinya ke luar negeri membeli senjata. Hasil dan perundingan yang diselenggarakan di markas Belanda itu adalah Belanda diperbolehkan menaikkan Benderanya di Samalanga tetapi tidak berkuasa atas wilayah itu sementara kegiatan perdagangan ekspor-impor Samalanga tetap berjalan tanpa ada gangguan dari pihak manapun termasuk Belanda dan Benteng Batee llie tidak boleh diganggu gugat, tetap bendaulat dan bebas mengibarkan bendera di puncak bukit tersebut. Kemenangan tetap di pihak Samalanga.
Belanda belum puas dengan hasil perjanjian tersebut dan berusaha merebut Samalanga. Pada tanggal 30 Juni 1880, sebanyak 65 prajurit yang dipimpin Letnan van Woontman secara diam-diam memasuki kampung dan sesampainya di Cot Merak, mereka dikepung penduduk setempat dan pertempunan sengit pun terjadi. Prajurit Belanda itu tendesak dan lari menyelamatkan diri kembali ke markas.
Pihak Belanda tersinggung dengan peristiwa di Cok Merak. Akhirnya, van Heijden melanggar penjanjian yang telah disepakati bersama. Ia mengirim satu ekspedisi yang terdiri dari 32 pegawai dan 1200 prajurit dengan alat tempur lengkap di bawah pimpinan Mayor Schilau dan Mayor van Steenvelt. Turut bersama pasukan Belanda itu adalah Panglima Tibang, bekas orang kepercayaan Sultan, dan Teuku Nyak Lehman sebagai juru bahasa dan penunjuk jalan.
Pada tanggai 14 Juli kapal yang membawa pasukan Belanda merapat di Kuala Samalanga. Belanda mengundang Teuku Cik Bugis, Pocut Meuligo, Teuku Bentara Cut (keponakan Pocut Meuligo) dan beberapa tokoh Samalanga, namun mereka tidak sudih datang karena telah bersiap-siap menghadapi kedatangan Belanda di Benteng Batee llie.
Sehari kemudian tepatnya tanggal 15 Juli Belanda menyerang Batee llie. Pertempuran sengit terjadi. Pasukan Belanda tidak berhasil menembus pertahanan Benteng Batee llie meskipun menyerang dan berbagai jurusan sebaliknya mereka dihujani tembakan pejuang Samalanga dengan peluru dan batu-batuan dan prajurit Belanda pun banyak yang mati.
Tidak hanya itu, pasukan induk Belanda pun diserang dengan kelewang dari belakang bukit. Schumacher mencatat Belanda terus maju dan menyerang tetapi setiap kali maju mereka terpaksa mundur meskipun bersenjata lengkap.
Perang berlangsung beberapa hari. Dalam suatu serangan, Teuku Cik Bugis juga turun tangan yang menyebabkan pasukan Belanda lari lintang-pukang. Karena peristiwa ini Belanda kemudian menangkap Teuku Cik Bugis namun tetap menyerang Samalanga. Karena setiap serangan selalu dapat dipatahkan pejuang Samalanga, Belanda akhirnya menghentikan penyerangan ke Samalanga
Pocut Meuligo kemudian menemui van der Heijden yang membawa Teuku Cik Bugis dan Banda Aceh. Mereka kemudian dibebaskan tanpa syarat apapun.
Lagi dengan 900 prajurit bersenjata lengkap untuk kali ketiga van der Heijden memimpin serangan ke Samalanga. Namun usahanya gagal total. Penasaran dengan usahanya yang selalu gagal, akhirnya pada tahun 1904 van der Heijden mengerahkan pasukan meriam. Usahanya kali ini mengakhiri perlawanan pejuang Samalanga selama lebih dan tiga puluh tahun melawan Belanda.
Lamanya Samalanga bertahan dan serangan Belanda tidak terlepas dan peran kepemimpinan Pocut Meuligo yang pantang menyerah dan selalu memompa semangat juang rakyatnya dengan tetap bersandar kepada kekuatan Allah SWT sebagai hamba yang beriman kepada-Nya.***
 Tun Sri Lanang adalah raja pertama kerajaan Samalanga
Tun Sri Lanang adalah raja pertama kerajaan Samalanga. Sebenarnya dia seorang Bendahara di Kerajaan Johor. Nama aslinya adalah Tun Muhammad. Dia diangkat menjadi raja Samalanga pada tahun 1615. Kisah Tun Sri Lanang ini diambil dari rangkuman beberapa penulis. Ini dia kisahnya.
Kebesaran Kesultanan Islam Malaka hancur setelah Portugis menaklukkannya tahun 1511. Banyak pembesar kerajaan yang menyelamatkan diri ke kerajaan lainnya yang belum dijamah Portugis. Sebut saja Pahang, Johor, Pidie, Aru (Pulau Kampai), Perlak, Daya, Pattani, Pasai dan Aceh. Portugis berusaha menaklukkan kerajaan Islam yang kecil ini dan tanpa perlawanan yang berarti. Perkembangan tersebut membuat gundah Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1530). Sultan berkeinginan untuk membebaskan negeri Islam di Sumatera dan Semenanjung Tanah Melayu ini dari cengkeraman Portugis. Keinginan Sultan didukung penuh oleh pembesar negeri Aceh dan para pencari suaka dari Melaka yang menetap di Bandar Aceh. Sultan memproklamirkan Kerajaan Islam Aceh Darussalam pada tahun 1512, dengan visi utamanya menyatukan negeri kecil seperti Pedir, Daya, Pasai, Tamiang, Perlak dan Aru.
Sultan Alaidin Ali Mughayatsyah berprinsip. “Siapa kuat hidup, siapa lemah tenggelam”. Karenanya dalam pikiran Sultan untuk membangun negeri yang baru diproklamirkannya perlu penguatan di bidang politik, luar negeri, militer yang tangguh, ekonomi yang handal dan pengaturan hukum/ketatanegaraan yang teratur. Dengan strategi inilah, menurut pikiran Sultan, Kerajaan Islam Aceh Darussalam akan menjadi negara yang akan diperhitungkan dalam percaturan politik global, sesuai dengan masanya dan mampu mengusir Portugis dari negeri Islam di nusantara yang telah didudukinya.
Dasar pembangunan kerajaan Islam Aceh Darussalam yang digagaskan Sultan Alaidin Ali Mughayatsyah dilanjutkan oleh penggantinya Sultan Alaidin Riayatsyah Alqahhar, Alaidin Mansyursyah, Saidil Mukammil dan Iskandar Muda. Aliansi dengan negara-negara Islam di bentuk, baik yang ada di nusantara maupun di dunia Internasional. Misalnya Turki, India, Persia, Maroko. Pada zaman inilah Aceh mampu menempatkan diri dalam kelompok “lima besar Islam” negara-negara Islam di dunia. Hubungan diplomatik dengan negeri nonmuslim pun dibina sepanjang tidak mengganggu dan bertentangan dengan asas-asas kerajaan (A. Hasyimy, Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah).
Perseteruan kerajaan Aceh dengan Portugis terus berlangsung sampai tahun 1641. Akibatnya banyak anak negeri yang syahid baik itu di Aceh sendiri, Aru, Bintan, Kedah, Johor, Pahang dan Trenggano. Populasi penduduk Aceh menurun drastis. Sultan Iskandar Muda mengambil kebijakan baru dengan menggalakkan penduduk di daerah takluknya untuk berimigrasi ke Aceh inti, misalnya dari Sumatera Barat, Kedah, Pahang, Johor dan Melaka,Perak,Deli. Sultan Iskandar Muda menghancurkan Batu Sawar, Johor, pada tahun 1613. Seluruh penduduk Johor, termasuk Sultan Alauddin Riayatshah III, adiknya Raja Abdullah, Raja Raden dan pembesar- pembesar negeri Johor-Pahang seperti Raja Husein (Iskandar Thani), Putri Kamaliah (Putroe Phang) dan Bendaharanya (Perdana Mentri), Tun Muhammad kemudian dipindahkan ke Aceh. Sultan Iskandar Muda kemudian menjadikan Tun Sri Lanang sebagai raja pertama ke Samalanga atas saran dari putri Kamaliah. (A.K.Yakobi, Aceh Dalam Perang Mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 1945-1949). Rotasi pimpinan ini sering ditempuh guna mencegah terjadinya pemberontakan raja-raja yang mendapat dukungan rakyat. Penobatan Tun Sri Lanang menjadi Raja Samalanga mendapat dukungan rakyat, karena disamping dia ahli dibidang pemerintahan juga alim dalam ilmu agama. Sultan Iskandar Muda mengharapkan dengan penunjukan tersebut akan membantu pengembangan Islam di pesisir Timur Aceh.
Namun penunjukkan Tun Sri Lanang sebagai raja tidak serta merta berjalan mulus. Hal itu karena adanya tentangan dari beberapa tokoh masyarakat yang dipimpin oleh Hakim Peut Misei. Dia justru menginginkan kelompoknyalah yang berhak menjadi raja pertama Samalanga. Menurut kisah dan penuturan orang- orang tua di sana. Setelah Hakim Peut Misei dan sebelas orang pemuka negeri lainnya bersama rakyat setempat selesai membuka negeri Samalanga, lalu mereka bermusyawarah untuk menentukan siapa diantara mereka yang berhak menjadi raja pertama Samalanga. Diantara panitia yang terlibat dalam persiapan pengukuhan keuleebalangan Samalanga dan daerah takluknya, terjadi perselisihan dan perbedaan pendapat.
Demi mengatasi perselisihan tersebut, atas saran masyarakat, kedua belas orang panitia tersebut kemudian menghadap sultan Iskandar Muda. Mereka menyerahkan keputusan tersebut kepada sultan, yang akan menentukan pilihan terbaiknya untuk memimpin negeri pusat pendidikan Islam itu. Rencana dan kabar tersebut diam-diam sampai juga ketelinga Puteri Pahang. Dia mengetahui rencana pertemuan dua belas tokoh masyarakat yang akan menghadap sultan. Putri Pahang menginginkan ke-uleebalangan Samalanga dan daerah takluknya diisi oleh Datok Bendahara, yang bergelar Tun Sri Lanang, yang tak lain adalah saudaranya sendiri. Siasat pun diatur dan berbagai cara juga ditempuh. Lalu Tun Sri Lanang diperintahkan berlayar ke Samalanga, di sana dia harus berpura-pura sebagai seorang nelayan yang kumuh tetapi ahli melihat bintang.
Berdasarkan rencana Putri Pahang, Tun Sri Lanang harus sampai duluan di Samalanga dan ke dua belas tokoh masyarakat tersebut diusahakan menggunakan jasa Tun Sri Lanang untuk berlayar ke Kuala Aceh menghadap Sultan. Pada hari yang telah di sepakati bersama, berangkatlah dua belas orang panitia menghadap sultan dengan didampingi seorang pawang dari kuala Samalanga menuju kuala Aceh. Ke dua belas orang itu kemudian bertemu dengan Sultan dan mengutarakan maksud dan tujuannya. Mereka lalu meminta kepada Sultan agar salah satu dari mereka dinobatkan menjadi uleebalang pertama Samalanga.
Setelah meminta pendapat orang – orang besar kerajaan dan Puteri Pahang, Sultan setuju menobatkan salah satu dari mereka menjadi Raja pertama. Namun dengan satu syarat apabila cincin kerajaan yang telah disiapkan oleh Puteri Pahang cocok di jari kelingking mereka. Mereka lalu mecoba satu persatu di jari mereka, tetapi cincin kerajaan tersebut terlalu besar untuk dipakai pada jari ke ua belas orang tersebut. Puteri Pahang menanyakan pada mereka apa ada orang lain yang tidak dibawa ke balai rung Istana? Mereka dengan hati kesal menjawab memang masih ada tukang perahu. Tun Sri Lanang pun kemudian dihadapkan kehadapan Sultan. Dia mencoba cincin kerajaan itu, ternyata sangat cocok untuk jari kelingkingnya. Karena itu kemudian Sultan Iskandar Muda menobatkan Tun Sri Lanang menjadi Raja pertama Samalanga. Namun sewaktu mereka pulang, Tun Sri Lanang tiba-tiba dibuang di tengah laut di kawasan Laweung.
Kejadian tersebut kemudian dikenal dalam masyarakat Samalanga sebagai Peristiwa Laut. Beruntung, Tun Sri Lanang berhasil diselamatakan oleh Maharaja Lela Keujroeun Tjoereh (Laweung). Setelah menyelamatkan Tun Sri Lanang, Maharaja Lela Keujroeun Tjoereh bersama T. Nek Meuraksa Panglima Nyak Doom menghadap Sultan. Mereka memberitahukan penemuan Tun Sri Lanang di tengah laut. Mendengar berita tersebut, Sultan sangat murka, dia kemudian memerintahkan Maharaja Goerah bersama T. Nek Meuraksa Panglima Nyak Doom dan Maharaja Lela Keujroeun Tjoereh menemani Tun Sri Lanang ke Samalanga. Hakim Peut Misee dan sebelas orang panitia persiapan keuleebalangan pun akhirnya dihukum pancung oleh sultan. Tun Sri Lanang menjadi Uleebalang pertama Samalanga pada tahun 1615-1659 M. Dia mangkat dan dimakamakan di desa Meunasah Leung Samalanga.
Pada masa pemerintahannya, dia berhasil menjadikan Samalanga sebagai pusat pengembangan Islam di kawasan Timur Aceh. Tradisi itu terus berlanjut sampai sekarang. Samalanga menjadi kubu kuat Sultan Aceh terakhir, Sultan Muhammad Daud Syah menentang penjajahan Belanda. Disamping ahli pemerintahan, Tun Sri Lanang juga dikenal sebagai pujangga melayu. Karyanya yang monumental adalah kitab Sulalatus Salatin. MenurutWinstedt, kitab ini dikarang mulai bulan Februari 1614 dan selesai Januari 1615 sewaktu menjadi tawanan di kawasan Pasai. Ketika di Batu Sawar, Tun Sri Lanang sudah mulai menyusun penulisan sejarah Melayu berasaskan kitab Hikayat Melayu yang diberikan oleh Yang Dipertuan di Hilir, Raja Abdullah. Dia kembali menyambung pekerjaanya menyusun dan mengarang kitab sejarah Melayu tersebut di Aceh sampai lengkap. Apabila kita baca mukaddimah kitab ini, tidak jelas disebutkan siapa pengarang yang sebenarnya. Dan ini biasa dilakukan oleh pengarang -pengarang dahulu yang berusaha menyembunyikan penulis aslinya terhadap hasil karangannya. Bahkan menyebutkan dirinya sebagai fakir. Kalimat aslinya sebagai berikut : Setelah fakir allazi murakkabun ‘a;a jahlihi maka fakir perkejutlah diri fakir pada mengusahakan dia, syahadan mohonkan taufik ke hadrat Allah, Tuhan sani’il – ‘alam, dan minta huruf kepada nabi sayyidi’l ‘anam, dan minta ampun kepada sahabat yang akram; maka fakir karanglah hikayat ini kamasami’ tuhu min jaddi wa abi, supaya akan menyukakan duli hadrat baginda. Maka fakir namai hikayaat ini “ Sulalatus Salatin” yakni “pertuturan segala Raja-Raja”.
Keturunan Tun Sri Lanang di Aceh yaitu Tun Rembau yang lebih dikenal dengan panggilan T. Tjik Di Blang Panglima Perkasa menurunkan keluarga Ampon Chik Samalanga sampai saat ini dan tetap memakai gelar Bendahara diakhir namanya seperti Mayjen T. Hamzah Bendahara. Sedangkan sebagian keturunannya kembali ke Johor dan menjadi bendahara (Perdana Menteri) disana seperti Tun Abdul Majid yang menjadi Bendahara Johor, Pahang Riau, Lingga (1688- 1697). Keturunan Tun Abdul Majid inilah menjadi zuriat Sultan Trenggano, Pahang, Johor dan Negeri Selangor Darul Ihsan hingga sekarang ini.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda